Sunday, May 1, 2011

Aspek Filosofis Fisika Quantum dan Ketidaksesuaiannya dengan Filsafat Cartesian (2)

(lanjutaan! ^^)

Pandangan filsafat Aristotle inilah yang akan digantikan oleh pandangan Descartes. Descartes mempertanyakan tentang realitas. Apakah semua yang kita anggap realitas itu benar-benar ada? Bagaimana kita bisa benar-benar yakin? Bisa saja kita sedang memimpikan realitas tersebut. Descartes sampai pada kesimpulan bahwa “kenyataan adanya ’suatu pikiran’ yang meragukan realitas, membuktikan bahwa ’suatu pikiran’ itu benar-benar ada/nyata, karena,tidak mungkin ’sesuatu-yang-tidak-nyata’ dapat mempertanyakan realitasnya sendiri”. ’Sesuatu-yang-tidak-nyata’ tidak mungkin memiliki jalan pikiran, sehingga akhirnya Descartes mendapatkan fondasi awal filsafatnya:  “cogito, ergo sum” (i.e., “aku berpikir, maka aku ada”). Dari titik awal ini, Descartes lalu menguji dan memastikan benar-tidaknya gagasan-gagasan lain. Ia berpendapat bahwa indera memberi kesan bahwa pikiran/jiwa terkait dengan semacam tubuh. Dari sinilah mulai diberlakukannya pemisahan antara alam pikiran (res cogitans) dengan alam raga (res extensa). Natural sciences, menurut Descartes terkonsentrasi pada res extensa. Hal ini menyebabkan Descartes berpikir bahwa ’dunia luar’ -dengan kata lain, alam semesta- adalah suatu Mesin Mekanis Raksasa yang disebutnya dengan automata, dan segala sesuatu di dalamnya merupakan bagian-bagian dari automata tersebut. Descartes tidak melihat adanya tujuan khusus atas eksistensi automata dan bagian-bagian automata. Automata dan bagian-bagiannya ini ada, karena disebabkan oleh penyebab lain, yang disebut dengan Causa Prima dan kita tidak perlu mempertanyakan ada/tidaknya tujuan dari eksistensi automata tersebut. Dalam paham Aristotelian, hal ini dikenal dengan kausa efisien. Dengan demikian, Descartes menghilangkan paham kausa final dari pandangan filsafatnya.

(to be continued..)

No comments:

Post a Comment